Mengawali cerita
sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah
kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah
Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku,
Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya
JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja
Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten
Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani
oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata
menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang
putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai
Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara
lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah
dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung
Mara Api.
Mereka singgah di
beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah
Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke
Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal
dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan
budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan
istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan
menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur
Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan
di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka
sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa
Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh
berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng
Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah
meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang
sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk
Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran
Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang
mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir
bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang
putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari
Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama
Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton
Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai
Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di
Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara
Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk
bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung
Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan
Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana
menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470
Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra
Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan
mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh
Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam
penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai
anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk
menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk
mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah
sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel
wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif
Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat
kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang
kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai
pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan
sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang
dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati
Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran
Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan
menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya
yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan
Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi
Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI
untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara
yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga
Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk
Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran
Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari
kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya
Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala,
bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang
diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar