Dari
sejumlah usulan yang ada tentang lokasi Atlantis nyatanya sampai kini belum ada
yang berhasil dibuktikan sebagai bekas benua Atlantis yang sesungguhnya,
walaupun lokasi-lokasi usulan tersebut memiliki kemiripan karakteristik dengan
kisah Atlantis, misal: adanya bencana besar, pulau-pulau yang hilang, dan
periode waktu yang relevan. Namun, tiba-tiba pada tahun 2005 muncul seorang
saintis Brazil bernama Arysio Santos yang – setelah melakukan penelitian
mendalam tentang benua-benua yang hilang – menyatakan bahwa “Atlantis: Benua
yang hilang itu sudah ditemukan” (Atlantis: the Lost Continent Finally is
Found). Sebab kitapun mungkin akan tersentak, penelitian selama 30 tahun itu
bermuara pada kesimpulan bahwa benua Atlantis yang hilang itu tenggelam di wilayah
Indonesia, yaitu di Sundaland, hingga hanya menyisakan puncak-puncak yang
membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api.
Kesimpulan
tersebut berawal dari keyakinan Prof. Santos-saintis Brazil itu – bahwa “Pilar-pilar
Herkules” sebagai Selat Sunda; dan Taprobane sebagai “Benua Atlantis” pada
zaman es (Pleistosen) atau sebagai “Pulau Sumatera” pada akhir zaman es
(Holosen). “Pilar-pilar Herkules” dan ”Taprobane” adalah dua diantara ciri-ciri
Atlantis yang hilang yang diceritakan oleh Plato. Menurut Santos, Taprobane
adalah Sundaland yang dikisahkan kaya dengan emas, batuan mulia, dan beragam
binatang termasuk gajah. Kita tahu, Sundaland adalah wilayah yang meliputi
Indonesia bagian Barat sekarang, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
pulau-pulau kecil lain di sekitarnya, termasuk laut-laut di antaranya; atau
sebagian besar wilayah Asia Tenggara saat ini.
Di
Taprobane inilah, kata Santos, terdapat Kota Langka, ibukota kerajaan Atlantis.
Langka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat
Sumatera sekarang. Tradisi Yunani tentang pulau Taprobane sebenarnya merujuk
kepada tradisi Hindu. Taprobane dalam tradisi Hindu adalah benua yang tenggelam
yang merupakan tempat dari mana bangsa Dravida berasal dan berada di
khatulistiwa. Nama “Taprobana Insula” dipopulerkan oleh Klaudios Ptolemaios,
ahli geografi Yunani abad 2 M. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobane
terdapat negeri Barousai yang – menurut Santos – kini dikenal sebagai kota Barus
di pantai barat Sumatera. Kota Barus terkenal sejak zaman purba (Fir’aun)
sebagai penghasil kapur barus. Namur demikian, serta merta banyak penolakan
terhadap pendapat Santos tersebut.
Penolakan
terhadap argumentasi Santos pada mulanya adalah suatu keniscayaan karena sangat
berjarak dengan alam pikiran umumnya manusia Indonesia. Hal ini didukung pula
oleh fakta bahwa:
Hampir
semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai
kawasan ‘pinggiran’. Artinya kebudayaan Indonesia tumbuh subur berkembang hanya
karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat
peradaban lain. Karena itu pula wajar jika banyak geolog Indonesia dengan serta
merta menolak pendapat Santos, selain ada pula yang menerimanya. Sayangnya
penolakan dan penerimaan hipotesis Santos tersebut dilakukan tanpa argumentasi
sesuai proses ilmiah yang benar yang dipublikasikan melalui majalah atau jurnal
ilmiah terakreditasi di masing-masing lingkungan keilmuaannya. Lain halnya para
peneliti Eropa dan Amerika yang selalu memberikan respon melalui jurnal ilmiah,
konfrensi, atau simposium internasional sehingga data dan argumentasi yang
diajukannya dapat teruji secara ilmiah.
Blog Misteri
BalasHapusSejarah Benua Atlantis
Sejarah Gunung Merapi