Oppenheimer
adalah salah satu tokoh utama bidang ini, yang produktif menuliskan hasil-hasil
risetnya. Saat ini, Oppenheimer yang semula seorang dokter anak dan pernah
bertugas di Afrika, Malaysia, dan Papua New Guinea; adalah research associate
di Institute of Human Sciences, Oxford University. Salah satu bukunya yang
terkenal “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004). Ini adalah sebuah
buku yang komprehensif tentang sejarah penghunian semua daratan di Bumi oleh
manusia modern berdasarkan analisis DNA pada semua bangsa.
Oppenheimer
memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome manusia
seluruh dunia. Dari situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya. Melalui
buku ini, kita bisa menebak dengan mudah bahwa Oppenheimer adalah seorang
pembela pemikiran migrasi manusia : Out of Africa, dan menyerang Multiregional.
Namun kita tidak akan membahas buku tersebut, kita akan membahas tentang
bukunya yang lain, yang menyulut perdebatan.
Tahun
1998, Oppenheimer menerbitkan buku yang menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi
dan paleoantropologi,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast
Asia”.
Buku
ini penting bagi kita sebab Oppenheimer mendasarkan tesisnya yang kontroversial
itu atas geologi Sundaland. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa
Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan berbudaya tinggi,
tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana :
Eurasia, Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Dari buku
Oppenheimer inilah pernah muncul sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost
Atlantis – benua berkebudayaan maju yang tenggelam.
Tesis
Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang
Indonesia penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya.
Apakah Oppenheimer benar? Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer
telah berjalan 10 tahun. Disini kita akan membahas beberapa perdebatan terbaru.
Sebelumnya, sedikit tentang ringkasan tesis Oppenheimer (1998) itu.
Dalam
“Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer
berhipotesis bahwa bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland.
Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi,
genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi,
Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya
Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun
yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland.
Arkeologi
membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir
terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland
menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar
migrasi ke arah Eurasia. Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan
genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang orang-orang Eurasia punya
mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari nenek
moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang kita sebut ”Out of Sundaland”
punya implikasi yang luas.
Bahkan
ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah,
tetapi justru di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras
Sunda!. Nah…implikasinya luas bukan? Hipotesis Oppenheimer (1998) segera
menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika, linguistik, maupun
mitologi. Kita akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru
(2007-2008). Di buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of
the British, 2007), Oppenheimer tak menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya
itu.
Sanggahan
terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi Internasional
Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30
Agustus 2007.
Dalam
pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari Belanda,
mengajukan sebuah makalah berjudul :
”A
new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South
East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological
Contents of Genesis 1-11”.
Makalah
ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang
Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007)
menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic,
genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives. Menurut Binsbergen
(2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan
mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan
manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan
Oppenheimer sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya
Sundaland.
Meskipun
Oppenheimer telah menerima tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang
punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak punya bukti kuat atau
penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.
Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya
menggunakan comparative mythology.
Berikut adalah beberapa keberatan atas
hipotesis tersebut :
(1)
Keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya
abad ke-19 AD dapat menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000
tahun BC?)
(2)
Kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya
terpisah ribuan tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi
detailnya berbeda
(3)
Pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan
sejarah kebudayaan manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada
Paleolitikum bagian atas)
(4)
Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur
migrasi manusia
(5)
Mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan atas
pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.
Dalam
pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006),
Binsbergen mengajukan pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah
panjang Old World mythology yang mengalami transmisi yang komplek dan
multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998). Winsbergen
juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan
mitochondrial DNA type B.
Itulah
sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998). Dukungan terbaru untuk
hipotesis Oppenheimer (1998), baru-baru ini datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika
yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari
University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya
dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam
makalah berjudul:
“Climate Change and Postglacial Human
Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence
Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et
al., 2008).
Richards
et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini
bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia)
datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan
justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan
berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di
Sundaland.
Pemecahan
garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi
cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali datang ke wilayah
ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran
populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah ini dan
juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke
barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara
itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting
dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi selama 35.000 tahun
terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia
Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan
tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu
komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang
lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman
Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di
wilayah ini. Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu
berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir besar setelah Zaman Es yang memaksa
para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan ke
wilayah-wilayah yang tidak banjir.
Dengan
menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara dan Pasifik, kita
sekarang punya bukti kuat yang mendukung Teori Banjir. Itu juga mungkin
sebabnya mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir
Besar dibandingkan bangsa-bangsa lain. Nah, begitulah, cukup seru mengikuti
perdebatan yang meramu geologi, genetika, biologi molekuler, linguistik, dan
mitologi ini. Pihak mana yang mau didukung atau disanggah ? Sebaiknya, masuklah
lebih detail ke masalahnya agar argument kita kuat, begitulah menilai
perdebatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar