Ketika sebagian
besar daerah Cirebon masih tertutup hutan belantara, dan ajaran Hindu masih
dianut oleh sebagian penduduk Cirebon. Maka pada saat itu pulalah Mbah Kuwu
Cirebon dengan dibantu teman dan kerabatnya bersemangat menyebarkan ajaran
Islam. Sambil menyebarkan agama tak lupa pula membabat hutan dan membuka
pedukuhan-pedukuhan baru.
Tersebutlah nama Kyai Ageng Buyut Membah, seseorang
dari Negeri Iraq, yang datang ke Indonesia karena diutus oleh ayahandanya untuk
menyebarkan Agama Islam dan memperbaiki akhlaq serta aqidah Bangsa Indonesia
khususnya didaerah Cirebon.
Kyai Ageng
Buyut Membah, diutus oleh ayahandanya tidak langsung datang ke Tataran Cirebon,
melainkan ke Pesantren Sunan Muria, dan ia berguru disana. Dipesantren itu Kyai
Ageng Buyut Membah berkenalan dan bersahabat dengan keturunan Sunan Muria yang
bernama Raden Jaka Pendil. Dipesantren itulah Kyai Ageng Buyut Membah mendapat
nama baru yaitu Raden Suminta.
Teringat akan
pesan ayahandanya yaitu untuk menyebarkan Agama Islam dan untuk memperbaiki
akhlaq serta moral penduduk didaerah Cirebon yang porak poranda karena
pertentangan Agama Hindu Budha dengan Agama Islam yang diajarkan oleh Mbah Kuwu
Cirebon dan kawan-kawan. Kyai Ageng Buyut Membah minta izin kepada gurunya
untuk pergi kedaerah Cirebon.
Bersama Raden
Jaka Pendil, Kyai Ageng Buyut Membah berangkat kedaerah Cirebon. Sebelum mereka
berdua berangkat, Sunan Muria memberi pesan agar keduanya dalam perjalanan,
maupun sesampainya ditujuan agar tetap ngaji Sufi (Pewalian) yang ada enam
macam adalah sebagai berikut : Diam, Jangan sombong, Jangan ugal-ugalan, Melindungi
orang yang lemah, Memperbanyak membaca Al-Qur’an, Jangan berbicara sembarangan,
dan harus menirukan tingkah laku Sunan Muria yang tidak pernah batal wudlu.
Dalam
perjalanan mereka bertemu dengan Raden Jaga Bodoh (Raden Suralaya) yang juga
sedang diutus oleh ayahandanya yaitu Sunan Gunung Jati untuk membabat Alas
Roban. Namun tempat pertemuan tersebut sekarang wallahu a’lam atau hilang
ditelan zaman. Kemudian mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan.
Pada tahun 1545
M mereka mulai membabat hutan disebelah barat Cirebon. Pada saat itu Raden Jaka
Pendil sedang mengamalkan doa Kanzil ‘Arasy, dari do’a tersebut menjelma sebuah
pusaka kayu yang berwujud keris, kayu tersebut bernama Kayu Karas (yang
kemudian terkenal dengan sebutan ki Arasy ). Didalam pusaka Kayu Karas tadi
terdapat qodam berupa jin muslimah dan berwujud seorang wanita. Wanita ini
diberi nama Larasati ( kemudian terkanal dengan sebutan Nyi Arasy ).
Sementara itu
Kyai Ageng Buyut Membah (Raden Suminta) mempunyai pusaka Weling Barong,
wujudnya tongkat berkepala naga, yang qodamnya berisi macan putih yang diberi
nama si Bujang, Ular Buntung, juga memiliki agem-agem merah delima, zamrud
unjaman dan burung banjar petung yang qodamnya berada di telaga midang di Desa
Bringin dan juga mempunyai peliharaan berupa macan Blewuk. Kyai Ageng Buyut
Membah, Raden Jaka Pendil dan Raden Jaga bodoh bersama-sama membabat hutan,
kayu-kayu yang bergelimpangan dan semak-semak kering dibakar hingga kobaran api
menjalar kemana-mana.
Sehabis hutan
di tebang mereka membenahi tempat baru tersebut, termasuk membuat sumur
Pendawa. Nama pendawa hanyalah sebagai kiasan belaka tidak ada hubungan dengan
pendawa lima. Kemudian orang-orang berdatangan ikut menetap didaerah baru
tersebut, termasuk Ki Buyut Ipah dan Ki Buyut Rinten yang masih bersaudara dari
Kyai Ageng Buyut Membah dan juga datang ikut menetap tinggal didaerah yang baru
itu.
Pedukuhan
terbentuk Kyai Ageng Buyut Membahlah yang jadi pemimpin, baik pemimpin agama
maupun pemerintahan. Malah semakin berkembang ajaran islam setelah kedatangan
Kyai Sembung (Kyai Somadullah) datang membantu.
Kyai Sembung
adalah seorang tamu Kyai Ageng Buyut Membah yang datang dari desa Luga Lugina
dari negara Syam (Syiria) untuk menyebarkan agama islam. Karena pada saat itu
keadaan akhlak dan moral masih terlantar.
Disebuah tempat
ada sebuah pohon rindang yang bunganya berbau harum, penduduk pedukuhan baru
tersebut banyak dan sering menggunakan bunga harum tersebut untuk acara kendurian
misalnya : acara pernikahan, khitanan, nujuh bulan dan acara-acara lainnya .
Awal
terbentuknya pedukuhan baru tersebut, sampai sekarang dikenal dengan sebutan
Bentuk, dan pohon yang digunakan bunganya oleh masyarakat tadi diberi nama
POHON GINTUNG. Istilah Gintung dapat diartikan sebagai berikut:
Gi=girang(suka,riang-gembira), In=Ingsun(saya), Tung=tungkul (betah kerasan),
jadi Gintung artinya Girang Ingsun Tungkul (saya senang dan betah di daerah
baru ) dan dari nama pohon inilah diabadikan menjadi nama DESA GINTUNG, yaitu
pada tahun 1554 M.
Selanjutnya
dibentuklah sebuah tempat pemerintahan baru yang berada ditengah-tengah dari
pedukuhan tersebut, diberi nama dusun atau DESA GINTUNG TENGAH. Dengan Kyai
Ageng Buyut Membah sebagai pemimpin/kuwu, dan sampai sekarang ada daerah yang
masih menggunakan istilah membah adalah membah lor dan membah kidul yaitu
daerah desa yang dijadikan tanah desa (bengkok dan titisarah).
Setelah
pedukuhan baru terbentuk, pola-pola kehidupan ditata dan penyebaran agama
islampun berkembang. Kyai Sembung, Raden Jaka Pendil dan Raden Jaga Bodoh tidak
menetap di desa Gintung Tengah melainkan kembali kedaerah asalnya Negara
Syiria. Salah satu kenangan untuk diingat anak cucu Gintung Tengah adalah Kyai
Sembung dapat menahan petir agar warga Gintung Tengah terhindar dari serangan
petir.
Dalam
perkembangannya, Pohon Gintung tersebut bunganya semakin banyak yang
membutuhkan oleh karena itu Kyai Ageng Buyut Membah menanam pohon gintung
disebelah kidul (Cikal bakal desa Gintung Kidul ), dan disebelah lor (Cikal
bakal desa Gintung Lor). Agar penduduk merasa lebih dekat untuk mengambil bunga
pohon gintung tersebut.
Semakin lama
pedukuhan Gintung Tengah penduduknya makin bertambah dan wilayahnya dibagi
menjadi beberapa blok yaitu : Blok Bentuk yang meliputi pendawa, Blok
Pesantren, Blok Desa, Blok Sumur bata
Adapun
tanah-tanah yang berada diluar Desa Gintung tengah seperti tapak bima yang
berada di Desa Gintung Kidul, blok sepat (putat) yang berada di Dukumire Desa
Galagamba, tanah Silado di Desa Bakung, adalah tanah-tanah yang diperoleh dari
babat hutan disaat istirahat sambil memandang hasil babat hutan-hutan tadi.
Sampai sekarang
masih ada tempat-tempat yang dianggap sakral / kramat oleh desa Gintung Tengah
adalah sumur pendawa dan sumur bata. Keduanya adalah tempat yang katiban gaman
/ pusaka keris Kyai Ageng Buyut Membah kedua tempat tersebut dapat membuat
siapa saja yang berada dekat dengan sumur tersebut akan merasa tenang, betah
dan nyaman.
Apabila
keturunanku (warga Gintung Tengah) memiliki masalah lahir dan batin Kyai Ageng
Buyut Membah menganjurkan untuk mengamalkan do’a Kanjil Arays kemudian mandi
diantara dua sumur tersebut dan apabila ingin mempunyai kelebihan lain(ekonomi
dan lainnya) dianjurkan untuk keluar/merantau dari Desa Gintung Tengah
ini,karena tidak semua kebutuhan hidup tidak semua ada disini.
Sedangkan sumur
Kroya dan sumur buk hanya merupakan kias atau lambang yang berpungsi untuk
peristirahatan para petani sambil berdiskusi tentang pertanian dan lainnya.
Kyai Ageng
Buyut Membah mempunyai seorang istri dari keturunan Kerajaan Galuh Pakuan dan
dikaruniai beberapa orang anak (yang keberadaanya tidak boleh diceritakan).
Karena usianya Kyai Ageng Buyut Membah tidak sempat mempunyai seorang murid.
Pada hari rabu tanggal 12 Rajab 1154 H / 1725 M Beliau wafat dan dimakamkan di
Blok Pendawa,sehingga pemerintahan desa diturunkan kepada orang lain.
Sejalan dengan perkembangan pedukuhan Gintung Tengah
dan sepeninggalanya para penerus dan pengganti Kyai Ageng Buyut Membah, Desa
Gintung Tengah pernah dipimpin oleh Kuwu Giwang, karena kuwu Giwang tidak bisa
mendengar/budeg, maka terkenal dengan sebutan Kuwu budeg, sehingga tanah-tanah
yang berada diluar Desa Gintung Tengah diminta oleh masing-masing pemerintah
desa setempat.