Nusantara Bagaikan Surga Bagi Para Pendatang
Jauh sebelum ada kerajaan, Nusantara
terkenal dengan keindahan alamnya serta tanahnya yang subur, sehingga banyak
orang dari berbagai negeri di belahan dunia berdatangan ke bumi Nusantara.
Mereka datang di Nusantara dengan menumpang perahu dari kayu besar berbentuk
rakit (getek), tetapi ada juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu
hutan. Di atas rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak
dari daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke arah
selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal asalnya di
tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba
di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu perahu itu hancur di tengah laut, karena
dihantam ombak atau terseret angin besar, sehingga perahunya terlunta lunta dan
terpisah dari kelompok perahu lainnya.
Tambah lama, orang pendatang baru
bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa
tujuan. Mengembara di hutan dan gunung gunung, bertambah banyaklah yang jadi
pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang
terus menerus. Golongan pribumi senantiasa dihinakan.
Kenyataannya, ada di bawah perintah
orang orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan
penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh.
Orang orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang.
Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat
senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik,
kristal, kendaraan. Selanjutnya membuat berbagai senjata dari besi dengan
gelang anak panahnya, pengetahuan tentang memanah, juga membuat berbagai obat
obatan, begitu pula membuat perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan
makanan sehari hari.
Mereka juga telah mempunyal pengetahuan
tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian
dan perhiasan yang indah indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada
besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat
rumah besar, yang dihuni suami isteri dan kerabat laki laki dan wanita, membuat
api dengan pemantik (paneker) dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat
tabuh-tabuhan pengiring orang menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang
perilaku yang baik di dusun, perilaku mengenai alat penukar. Mereka memiliki
pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang: (1
yojana =100.000 depa), tentang makanan yang lezat, pengetahuan tentang hari,
berbagai tumbuh tumbuhan, (musim) penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang
laut, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan tentang tanah,
gunung, dan pengetahuan tentang tutur kata.
Selanjutnya, mereka memiliki
pengetahuan tentang rempah rempah, pengetalruan tentang hutan dan gunung,
kesejahteraan warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang
belakangan dari negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang serta
negeri Bharata (India) sebelah selatan, sangatlah pandai berbagai pengetahuan,
yaitu manusia yang mahir ilmu pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan
pribumi di situ, ialah orang orang pendatang yang telah lama membuat perkakas
dari batu, kayu dan tulang. Pakalan mereka dari serat kulit kayu, karena itu
mereka disebut manusia purba pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam
tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa orang orang
pendatang baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia purba
pertengahan, kira kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka.
Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan
seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir
dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala
perlengkapan.
Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau
di bumi Nusantara. Demikianlah uraianmahakawi (pujangga besar), pada waktu itu
disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan
perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan perak. Mereka lebih
pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka kemudian menyerang
desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau pulau di Nusantara
menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk segera
dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya
dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta
menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang
berkuasa.
Begitu pula di antara seratus tahun
pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari
beberapa negara yang terletak di sebelah timur negeri Bharata (India). Oleh
karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman purba.
Pada awal tarikh Saka, datang
orang-orang dari barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan
Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan
perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena
kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga
orang orang pendatang dari kawasan benua utara, yang leluhurnya tiba di Pulau
Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.
Barang barang yang dibawa oleh para
pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas,
perak, permata, mustika, obat obatan, bahan bahan makanan, serta perabot
kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah
rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di antara mereka ada yang terus menetap
di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali.
Demikian pula di Sumatera, dan di pulau pulau lain di Bumi Nusantara, yang
disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai
ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan, dan kaum pendatang
diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka
menamakan pulau pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana
surga di muka bumi (samyasanya swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena
itu, mereka selalu merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu
selama tinggal di sini. Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di
sini, kemudian beranak pinak.
Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa
subur tanahnya, subur tumbuh tumbuhannya. Oleh karena itu, beberapa tahun
kemudian, datanglah orang-orang dari Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke
Jawa Kulwan (Barat) dan bumi Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di
situ, karena berjodoh dengan putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali
ke negeri asalnya. Kemudian mereka masing masing mendirikan rumah besar untuk
tinggal keluarganya. Kolong rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan
peliharaan mereka.
Mereka bergabung untuk bergotong royong
(samakarya), membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung
akhli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi. Para pendatang dari India itu,
ada yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di
desa desa. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Juga masih banyak
Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka tidak saling
bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka berhasil menemukan cara
yang tepat.
Penduduk di sini keturunan kaum
pendatang juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan
sebagainya. Singkatnya, mereka itu mernuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang
baru dari India Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka
telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang
dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan
adat penduduk di sini.
Dengan cara demikian, mereka tidak
menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan
dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau
Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan
pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga
dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk
agama baru itu.
Sementara itu, banyak di antara para
pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan
menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa desa di Pulau Jawa makin
lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan
kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu
telah dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang
Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah
kekuasannya.
Sementara itu, keadaan desa-desa tetap
makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya.
Demikianlah pula pulau pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun
80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke
Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak
di antara mereka itu, yang membawa anak isteri berserta sanak keluarganya, lalu
menetap di Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di
situ.
Ada yang datang membawa perahu besar,
ada yang datang beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini,
mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun
tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di
sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar