Benarkah Nusantara Asal Peradaban Dunia?



Rumah adat Toraja
ATAP bangunan itu sangat khas. Disebut tongkonan, rumah adat Toraja menjadi salah satu arsitektur tradisional paling gampang dikenal di Indonesia. Materialnya uru, kayu lokal yang seawet jati. Arahnya selalu utara. Atapnya melengkung. Meski orang Toraja tinggal di pegunungan, atap lengkung indah itu ternyata terkait dengan citra lautan atau perairan. Bentuk rumah dengan atap lengkung itu menggambarkan perahu.

“Model atap itu menggambarkan perahu yang digunakan Puang Buralangi pada saat berlayar ke Toraja, ribuan tahun silam,” kata C.F. Palimbong, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Toraja-Toraja Utara, kepada Tempo beberapa waktu lalu. Dalam mitologi Toraja, Puang Buralangi adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan.

Buralangi ini diciptakan Tuhan di bagian utara langit dan kemudian diturunkan di daerah yang disebut Pongko sebelum pergi ke Toraja dan beranak-pinak di sana. Letak Pongko itu di daerah utara. Itu sebabnya, tongkonan selalu menghadap utara. Tidak ada kepastian di mana Pongko itu berada. “Pongko yang saya pahami adalah Tiongkok atau Cina,” kata Palimbong.

Kisah penciptaan Buralangi juga bercerita tentang banjir besar yang merendam daerahnya. “Karena kondisi ini pulalah Puang Buralangi menggunakan perahu ke Toraja,” ujarnya. Perahu ini kemudian diabadikan dalam bentuk atap rumah.

Versi lain mitologi banjir di Toraja, dengan sedikit perbedaan detail, diungkap oleh Stephen Oppenheimer beberapa pekan silam dalam sebuah diskusi di gedung LIPI, Jakarta. Saat itu ia menjelaskan teorinya yang ia tulis dalam buku setebal 800 halaman, Eden in the East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (edisi Inggris terbit pada 1998, bahasa Indonesia bulan lalu). Inilah buku yang menarik untuk dibicarakan. Sensasional tapi argumentasinya memikat karena bersangkut-paut dengan masa lalu sejarah kita yang misterius. “Karakter khas mitologi di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara adalah banyaknya cerita banjir,” kata ilmuwan genetika dari Universitas Oxford, London, Inggris, itu.

Kisah banjir ini yang menjadi satu dasar teori Oppenheimer bahwa banyak peradaban tertua di dunia berasal dari kawasan Indonesia, terutama dari wilayah Paparan Sunda, yang sekarang sudah tenggelam menjadi Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Dasar lain yang digunakan Oppenheimer adalah pemetaan genetika.
 

Paparan Sunda alias Sundaland itu wilayah dataran luas yang berada di wilayah Indonesia dan sekitarnya sekarang. Sebelum dipisahkan oleh laut karena Zaman Es berakhir sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu dengan Asia Daratan. Daratan ini juga menghubungkan Kalimantan dengan wilayah selatan Cina. 

Namun Oppenheimer melihat beberapa temuan dari wilayah Sumeria menunjukkan kesamaan dengan kebiasaan atau teknologi Austronesia. Gerabah yang ditemukan di Ur, salah satu kota tua Sumeria, menunjukkan beberapa kesamaan dengan gerabah di kelompok penutur Austronesia di Asia Tenggara seperti cat merah. Begitu pula, ada temuan patung-patung dengan rajah. Seni membuat rajah alias tato itu khas Austronesia. Di Sepik Tengah, Papua Nugini, beberapa suku lokal sampai kini, seperti dilihat Oppenheimer, saat bertahun-tahun menjadi dokter yang meneliti penyakit malaria di Papua Nugini, masih mempraktekkan seni membuat rajah ini. 

Oppenheimer percaya, saat Paparan Sunda itu belum tenggelam, penduduknya sudah memiliki kemampuan teknologi bertani, mencari ikan, atau membuat tembikar. Kemampuan pertanian ini boleh dibilang paling tua di dunia. “Belum ada masyarakat lain (di dunia saat itu) yang bisa melakukannya,” kata Oppenheimer. 

Begitu Paparan Sunda direndam air secara mendadak, penduduknya menyingkir. Mereka membawa serta teknologi pertanian dan sebangsanya ini ke seluruh dunia. Ke barat, pengaruh para imigran dari wilayah Indonesia dan sekitarnya ini sampai Eropa, sedangkan ke timur sampai ke Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang ribuan tahun lalu masih bisa dilewati dengan berjalan kaki, tidak perlu menggunakan perahu.

Menurut Oppenheimer, peradaban tua Sumeria, 5.000 tahun SM, juga dipengaruhi oleh peradaban orang-orang berpenutur Austronesia-keluarga bahasa yang mencakup bahasa-bahasa di Indonesia-dari Asia Tenggara. Selama ini para ahli sejarah menyatakan di Sumeria sistem hukum sudah dikembangkan, teknik militer sudah cukup maju karena terus terjadi perang antarkota. Roda, salah satu temuan teknologi paling berpengaruh di dunia, juga sudah diciptakan. Dan terutama huruf telah digunakan, yaitu dalam bentuk huruf paku.

Tidak hanya teknologi yang disebarkan para penduduk Asia Tenggara ribuan tahun silam ke berbagai penjuru dunia, tapi juga mitologi kisah banjir. Gilgamesh, kisah banjir bandang Sumeria yang memiliki kesamaan dengan banjir Nuh, menurut Oppenheimer, bertolak dari kisah tenggelamnya Paparan Sunda di wilayah Nusantara dahulu kala.

Sampai dua abad silam, cerita banjir Nuh adalah satu-satunya legenda tentang banjir besar yang dikenal dunia mutakhir. Munculnya mitologi banjir besar, yang sebagian sangat mirip kisah Nuh, baru muncul saat tablet-tablet tulisan huruf paku, semacam buku dari kerajaan tua Sumeria, ditemukan di Irak oleh Hormuzd Rassam pada 1853. Tablet-tablet itu pertama kali diterjemahkan oleh arkeolog Inggris, George Smith, pada awal 1870.

Tablet itu berisi kisah Gilgamesh, Raja Sumeria. Dalam cerita itu, Gilgamesh bertemu dengan Utnapishtim di negeri timur yang mengaku selamat dari banjir besar yang melanda negerinya karena naik perahu besar. Dalam perahu itu, ia membawa semua benih yang bisa ditanam. Setelah beberapa hari, ia melepas burung untuk mengetahui apakah sudah tampak ada daratan. Belakangan arkeolog Inggris lain, Sir Leonard Woolley, pada 1929, menyimpulkan bahwa kisah Utnapishtim dan banjir Nuh itu sama.

Rupanya Utnapishtim bukan satu-satunya kisah tentang air bah yang mirip banjir Nuh. Beberapa kisah serupa mulai teridentifikasi. Di Wales-negeri kecil yang pemerintahannya menyatu dengan Inggris-ada dongeng Danau Llion yang menyembur dan membanjirkan seluruh daratan kecuali Dwyfan dan Dwyfach. Mereka selamat dengan kapal tanpa tiang dan kembali mendiami Pulau Pridain (Britania). Kapal itu berisi sepasang binatang dari setiap makhluk hidup.

Di Lituania, ada dongeng bahwa Pramzimas, sang dewa tertinggi, sudah muak terhadap keburukan manusia sehingga mengirim Wandu dan Wejas. Karena terlalu bersemangat bekerja mengirim air bah, dalam 20 hari tersisa sangat sedikit manusia.

Tapi di Asia Tenggara dan wilayah berpenutur Austronesia lain, seperti di kepulauan Pasifik, menurut Oppenheimer, kisah banjir seperti Nabi Nuh dan Sumeria ini sangat banyak. “Mayoritas dongeng tersebut diceritakan oleh penduduk minoritas yang tinggal di pulau kecil,” kata Oppenheimer. Rupanya, di pulau kecil ini, bayangan banjir selalu ada. Kisah air bah pun dianggap “kontekstual” sehingga mitologi bisa awet dan diturunkan selama ribuan tahun.

Di Tahiti, misalnya, ada kisah banjir setinggi gunung, selama sepuluh hari. Jelas bukan tsunami, yang mungkin sudah dikenal di daerah itu, karena lamanya sampai 10 hari. Adapun suku Ami, salah satu suku pribumi di Taiwan, memiliki ciri sama dengan dongeng di Tibet-Burma dan Austro-Asiatik di India Timur. Kisahnya tentang banjir bandang yang singkat, menyelamatkan diri dengan kotak kayu, mendarat di gunung, dan inses orang yang selamat.

Selain tema air bah, yang memiliki sejumlah kemiripan adalah mitologi proses penciptaan dunia serta Habil dan Qabil. Bagi Oppenheimer, hal-hal ini bukan kebetulan. Karena itu, sumbernya pasti dari satu wilayah dan wilayah tersebut, menurut dia, ada kemungkinan di Asia Tenggara. “Mitos banjir pasti datang dari Kepulauan Asia Tenggara-dari kawasan Nusantara, yang kehilangan sebagian besar daratan (setelah Zaman Es berakhir),” tutur Oppenheimer dalam bukunya.

Apalagi kadang kesamaan mitologi ini disertai jejak genetika. Kisah Kalevala, misalnya, berasal dari Finlandia. Dan di negeri itu-serta sejumlah wilayah Eropa utara lain, seperti Estonia-ditemukan jejak-jejak genetis yang serupa dengan Asia Tenggara.

Dalam peta Journey of Mankind (Perjalanan Umat Manusia) yang dipaparkan di salah satu situs Internet, Oppenheimer memaparkan teori yang dipercaya sebagian besar ahli dunia tentang persebaran manusia sejak lahir di tanah Afrika sekitar 170 ribu tahun silam. Ini adalah persebaran manusia modern, Homo sapiens.

Pada 90-85 ribu tahun silam, sekelompok manusia meninggalkan Afrika ke timur, lewat Laut Merah. Dalam 10 ribu tahun, mereka terus bergeser mengikuti garis pantai Asia hingga sampai ke pantai di Cina.

Setelah Toba meledak-ledakan gunung terbesar yang diketahui umat manusia sekarang sehingga menyisakan Danau Toba-sekitar 74 ribu tahun silam, penduduk di Asia Tenggara menyebar hingga ke Papua dan Australia serta sebagian ada yang kembali ke barat, ke India. Wilayah Asia Tenggara kemudian dihuni orang yang menjadi nenek moyang Austronesia. Mereka inilah yang terkena banjir dan, menurut Oppenheimer, melakukan arus balik perjalanan mempengaruhi negeri-negeri jauh sampai ke Eropa.

Teori ini bertentangan dengan penyebaran Austronesia yang semula dipercaya berasal dari Taiwan. Teori Taiwan sebagai asal-muasal orang Austronesia, disebut teori Out of Taiwan, dibuat berdasarkan pendekatan bahasa. Keluarga rumpun bahasa Melayu itu, jika dirunut, sampai ke suku-suku pribumi di Taiwan (orang Tionghoa masuk Taiwan baru mulai abad ke-17).

penyebaran-Austronesia
Menurut teori yang dikemukakan Peter Belwood pada akhir 1970-an, orang Taiwan masuk wilayah Indonesia dan sekitarnya baru pada 4.000-3.500 tahun sebelum Masehi. Batas waktu ini jauh lebih muda daripada teori Oppenheimer, yang menyatakan bahwa orang Austronesia sudah ada di wilayah ini sejak, mungkin, 50 ribu tahun silam dan mengembangkan teknologi pertanian di sini.

Arkeolog seperti Harry Truman Simanjuntak, profesor dari Universitas Indonesia, tetap memegang teori Belwood ini. “Arkeologi dan linguistik kurang mendukung (teori Oppenheimer),” katanya. Ia merujuk pada sejumlah temuan seperti tembikar yang waktunya tidak melebihi batas 4.000 tahun itu.

Harry bahkan memperkuat temuan Belwood dengan teori bahwa jalur penyebaran dari Taiwan ini tidak hanya lewat Filipina-Kalimantan, tapi juga menyusuri pantai Indocina, kemudian menyeberang ke Sumatera dan Jawa. Teori ini berdasarkan perbedaan gaya tembikar di Indocina-Sumatera-Jawa bagian tengah dengan wilayah lain.

Tapi Oppenheimer berkukuh. “Bahasa bisa menyebar, tapi orangnya (bisa jadi) tidak menyebar,” katanya. Jadi mungkin saja bahasa Austronesia memang menyebar dari Taiwan, tapi penduduknya tetap yang itu-itu saja.

Selain itu, ia mengajukan temuan arkeolog Thailand yang menunjukkan bahwa peradaban di Asia Tenggara lebih tua daripada sekadar 4.000 tahun silam. Arkeolog itu, mendiang Surin Pookajorn, menemukan butir beras dari era 7.000-5.000 tahun sebelum Masehi di Semenanjung Melayu. Batas waktu ini lebih tua beberapa tahun dibanding kedatangan orang Austronesia dari Taiwan.

Oppenheimer juga merujuk pada fakta bahwa di beberapa suku di Nusa Tenggara, teknologi beras tidak muncul sampai beberapa puluh tahun lalu. Padahal beras-dan tanaman lain seperti tebu-dipandang sebagai salah satu ciri peradaban Austronesia. “Penghuni di Indonesia sudah ada di sini jauh lebih lama, jauh lebih lama dalam kerangka waktu dibanding dalam Out of Taiwan,” katanya.

Dari sisi genetis, pendekatan Oppenheimer itu didukung oleh para pakar genetika. Penelitian hampir 100 ilmuwan genetika Asia, termasuk Profesor Sangkot Marzuki yang memimpin Lembaga Eijkman, sudah memetakan genetika manusia Asia. Hasilnya? “Asia Tenggara adalah pusat penyebaran (manusia modern) setelah Afrika,” kata Sangkot.

Teori Oppenheimer memang tidak sedramatis teori mendiang Arysio Nunes dos Santos, profesor fisika nuklir dari Brasil, yang menulis bahwa negeri Atlantis, seperti yang dikisahkan Plato, ada di wilayah Paparan Sunda itu. Seperti dikatakan Harry Truman Simanjuntak, teori Oppenheimer, meski ditentangnya, lebih masuk akal.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar