Mengapa Nabi kita Tak Perlu Digambar

Pada zaman nabi Muhammad memang belum ada kamera atau video yang bisa menampilkan wajah asli manusia. Lalu, jikapun pada zaman nabi muhammad SAW sudah ada video atau kamera seperti sekarang, bukan berarti wajah nabi bisa di rekam atau di potret. Pada zaman rasul bukan berarti pula tidak ada pelukis atau ahli seni yang tidak bisa membuat lukisan rasulullah. Sejak awal sampai sekarang ada kesepakatan bahwa fisik Rasulullah itu haram digambar dan/atau dipatungkan karena khawatir gambar, lukisan, atau patung beliau akan diperlakukan sebagai berhala, yang akan disembah oleh umat Islam.

Lalu bagaimana jika menggambar Nabi tidak untuk tujuan sebagai sesembahan?. Hanya ingin menggambarkan kira-kira seperti apa wajah rasul dan untuk menambah rasa cinta terhadap rasul?.

Mari kita simak sejarah ini. Nabi Muhammad memimpin penghancuran 360 patung yang terdapat di Ka’bah, padahal, konon, di antara patung-patung itu terdapat patung Nabi Ibrahim dan Ismail, yang merupakan bapak moyang beliau sendiri. I ni dikarenakan agar "sejarah tidak terulang" untuk yg kesekian kalinya yg mungkin akan menimpa umatnya sehingga menjadi sesat.

Dari contoh penghancuran berhala itu bisa diambil sebuah logika bahwa melukis atau mematungkan nabi memang tidak dibenarkan dalam Islam, baik demi kepentingan sejarah atau pun untuk tujuan seni belaka. Hal itu ‘diundangkan’ bukan karena fisik nabi dianggap sakral, tapi karena fisik seorang nabi sama sekali terpisah dari misinya; sementara kebanyakan manusia – apalagi yang dimabuk cinta buta – sering tidak mampu memilah. Bahkan kita – karena kurang kedewasaan, mungkin – sering terjebak dalam pesona keindahan lahiriah yang sebenarnya rapuh dan fana.

Al-Quran memang tidak memuat larangan penggambaran fisik nabi secara langsung. Tapi jelas di situ bahkan ada larangan mengklaim Nabi Muhammad sebagai pusat keturunan. Misalnya seperti yang tersirat dari Surat Al-Ahzab ayat 40 yang artinya: “Muhammad itu bukan (untuk diklaim sebagai) bapak seorang lelaki di antara kalian. Dia hanyalah seorang rasul, yakni penutup dari para nabi.”

Karena beliau ‘hanya’ seorang rasul, yang akhlaknya (kepribadiannya) merupakan hasil dari didikan Allah sendiri, maka satu-satunya yang layak diketengahkan adalah misinya untuk ‘menularkan’ pendidikan ahklak itu. Dan untuk itu, umat Islam sama sekali tidak membutuhkan sebuah gambar atau patung yang diusahakan semata-mata untuk merekonstruksi sebentuk tubuh, yang secara keseluruhan pastilah tidak berbeda dari kita semua. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar