Bharatayudha (Perang selama 18 hari dengan korban 9.539.050 orang)

Kakawin Bharata Yudha, buah karya Pujangga Besar Empu Sedah dan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri itu, hingga sekarang masih tetap menjadi pusat perhatian kaum cerdik cendikiawan dan para sarjana dari luar maupun dalam negeri yang ingin memperdalam bahasa serta kesusasteraan Jawa. Isi kakawin tersebut, menceritakan perangnya keluarga Pandawa melawan Kurawa.

Karena kedua belah pihak masih darah daging, yaitu rumpun Bharata Yudha. Kakawin tersebut termasuk kitab Jawa Kuna disusun dengan sekar ( puisi ) dan ( digubah berdasarkan kitab Maha Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab “ Astadasa Parwa “ ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.

Karena buku itu memuat cerita perang, maka isinya untuk sebagian besar adalah soal pertempuran, dengan korban-korban berguguran. Kecuali Kakawin Bharata Yudha sendiri , juga kitab Jawa yang bernama “ Adi Parwa “ menyebutkan, bahwa perang besar itu hanyalh berlangsung 18 malam saja. Meskipun demikian menurut cerita itu , korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatang-binatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya, menurut kata-kata aslinya jumlah itu ialah : Sangang yuta limang keti, tigang leksa sangan ewu langkung seket.

Pertempuran yang terlama 10 hari, yang tersingkat setengah hari saja. Tadi telah disebutkan, bahwa Kakawin itu menggubah parwa-parwa atau bagian.

Adapun yang dipetik oleh Kakawin itu ialah :  
1.  Udyoga – Parwa,
   Babakan ini menceritakan ketika prabu Kresna, penasehat agung Pandawa,   melaksanakan tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk menyodorkan “ Claim “ atas negara Astina kepada sang Kurupati benggol Kurawa yang menduduki negara tersebut.
2.  Bhisma – Parwa,
Menceritakan ketika Resi ( Pandita ) Bhisma maju memimpin peperangan sebagai panglima besar dari tentara Kurawa. Babakan perang ini berlangsung 10 hari ( jadi lebih dari separo lamanya dari perang Bharata Yudha itu sendiri ). Akhirnya pandita tersebut gugur karena panah Srikandi, seorang perwira wanita.
3.  Drona – Parwa,
Mennceritakan waktu Pandita Drona, penasehat Kurawa memimpin pertempuran sebagai panglima tentara Kurawa. Ia gugur pula, putus lehernya oleh Sang Drestadyumna. Lamanya pertempuran ini 5 hari.
4.  Karna – Parwa,
Menceritakan waktu Sang Karna, panglima perang tertinggi tentara Kurawa maju perang meminpin dan memegang sendiri komando pertempuran. Lama pertempuran hanya 2 hari saja dengan berakhir gugurnya sang Karna karena kesaktian Sang Arjuna.
5.  Salya – Parwa,
Menceritakan ketika Sang Salya, sesepuh Kurawa meminpin pertempuran. Pertempuran hanya berlangsung setengah hari saja dengan berakhir gugurnya sang Salya oleh Puntadewa dengan ajimat Kalimahosadhanya.
6.  Gada – Parwa,
Mengkisahkan waktu Sang Duryudana bertempur melawan Sang Bima. Duryudana menemui kekalahannya karena kena pukul pada betisnya oleh Bima dengan gada yang dinamakan Lohitamuka. Gada ini beratnya bukan alang kepalang karena berkepalakan besi massif. Dalam cerita wayang gada ini sangat terkenal yang oleh Ki Dalang disebut gada “ Rujak Polo “ ( polo artinya otak ). Meskipun Duryudana telah remuk dan cacad, tetapi ia tidak juga mati. Ia telah bersumpah, sebelum mati akan membersihkan telapak kakinya pada kepala-kepala para Pandwa ( kesed )
7.  Sauptika – Parwa,
Mengkisahkan ketika Aswatama bersama resi Krepa dan Kartamarma sebagai orang-orang Kurawa yang telah kehilangan akal, melakukan serangan pembalasan secara pengecut dengan meninggalkan aturan umum pertempuran. Dengan muslihatnya yang licik itu pada suatu malam mereka telah merunduk ke perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh dengan cara yang tidak ksatria perwira-perwira Pandawa serta kelima putra Yudhistira sesepuh Pandawa. Sebagaimana diketahui, malam itu para Pandawa bersam Kresna sedang melakukan anjangsana kedesa-desa. Mereka meninggalkan perkemahan dengan hati yang resah karena memikirkan sumpah Duryudana tadi.

Bharata Yudha dianggap keramat di Jawa.

Pertunjukan ( wayang ) dengan cerita Bharata Yudha yang mengasyikkan itubuat masyarakat di Jawa pada umumnya masih dianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat dan waktu. Menurut kepercayaan yang masih tetap berlaku, kalau dilanggar bisa menimbulkan bencana yang tidak diduga-duga. Biasanya lakon Bharata Yudha hanya dipertunjukkan pada saat-saat upacara“ bersih desa “ yang hanya berlangsung setahun sekali di desa-desa. Dan pertunjukkan ( wayang ) itu dilakukan ditengah sawah.
“ bersih Dusun “ atau merti dusun ( asal kata Jawa kuno “ Pitro “ berarti metathesis. Dengan merti dusun penduduk memberi sesaji kepada roh-roh leluhur, dan adat tata cara merti dusun itu kini tidak lagi terdapat di kota-kota. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang, dengan lakon Bharata Yudha itu hampir tidak pernah dilakukan dikota. ( sekarang sudah banyak dipentaskan oleh wayang orang dan disiarkan oleh radio – red )
 
Bharata Yudah di Bali.

Berlainan dengan di Jawam maka Bharata Yudha di Bali tidaklah dianggap keramat dan luar biasa. Disana kitab atau cerita yang dianggap tidak baik akibatnya ialah Serat Kidung Rangga Lawe, yang mengkisahkan memberontaknya Ki Rangga Lawe dari Tuban terhadap keprabuan Majapahit, disamping itu jugs kitab-kitab lain seperti cerita Jayaprana, suatu cerita yang hampir mirip dengan cerita Pranacitra untuk masyarakat Jawa. Di Bali kitab Bharata Yudha menjadi bacaan umum, terutama bagi mereka yang memperdalam kesusasteraan.

Masyarakat Bali umumnya hafal diluar kepala, kebanyakan bait-bait yang tersurat dalam kitab tersebut, dan oleh karenanya banyak disitir dalam pelbagai percakapan.

Salah satu bait yang sangat populer dari Kakawin itu, ialah bait ke I Sekar Puspatagra, yang diucapkan dengan intonasi khusus pada waktu mereka berjalan mengiring jenazah yang akan diperabukan. Bunyinya bait itu adalah sebagai berikut :
“ Ri pati sang Abimanyu ring ranangga, Tenuh araras kadi sewaleng tahan mas, Hanan angaraga kalaning pajang lek, cinacah alindi sahantimun genenten “
Terjemahannya Ke I sebagai berikut :
 
Gugurnya Sang Abimanyu dimedan perang, Hancur remuk tetapi malahan nampak indah, bak lumut laut di atas piring kencana ukiran. Sebentar ( luka Itu ) nampak seperti lubang, keranjang kena sinar rembulan purnama, Terkeping-keping halus bak timu dicacah.
 
Itulah bait yang sedikit banyak menggambarkan peperangan dengan korbannya dan watak-watak pelakunya. Sebagai tambahan, dibawah ini di kutip lagi bait yang melukiskan keindahan malam serta pemujaan atas seorang wanita. Bagian ini terdapat pada Sekar Sardulawikridita bait ke I :
“ Leng leng ramya nikang sasangka kumenyar mangrongga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas Iwir murub ring langit. Tekwan sarwwa manik tawingnya sinawang saksat sekar ning suji, Unggawa Bhanumati yanamron alngo mwang natha Duryudana “

Adapun maknanya Ke. I adalah sebagau berikut :
Menggairahkan keindahan bulan purnama raya, menambah indah sinarnya puri, Kian tanpa tanding indahnya wism kencana, bak nyala dilangit. Dan bertahtakan Zamrud memancar laksana untaian kembang, Diditulah sang Ratna Banuwati biasa bercengkarama bersama Sang Duryudana.
Itulah petikan dari Kakawin Bharata Yudha, yang banyak difahami dan diperdalam oleh masyarakat Bali disamping pementasan lakon-lakon dari Bharata Yudha itu sendiri.


Leluhur Bangsa Nusantara Pencipta Peradaban Dunia


Nenek moyang bangsa Nusantara, khususnya Pulau Jawa adalah pencipta kebudayaan dunia. Leluhur bangsa Nusantara (Indonesia) merupakan manusia-mansuia tangguh dan cerdas, pencipta peradaban dunia. Bahkan jauh sebelum tahun masehi, kerajaan nusantara adalah penguasa duapertiga wilayah bumi. India dulu hanyalah salah satu kadipaten dari kerajaan yang berpusat di pulau Jawa. Sumber dari peradaban dunia bisa dikatakan semuanya bermula dari Nusantara.

Semuanya memberikan kita gambaran bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bukan orang-orang terbelakang. Kalau kemudian sejarah dunia saat ini tidak memposisikan peradaban nusantara sebagai sumber dari peradaban dunia, maka itu tidak lebih bagian dari kerja-kerja ilmuwan dari belahan dunia barat yang ingin mengingkari realitas.

Cerita Mahabrata adalah cerita nyata yang sesungguhnya terjadi di Nusantara. Kerajaan Astina itu adalah kerajaan di Nusantara. Ini berarti tokoh-tokohnya yakni para Pandawa dan Kurawa bukanlah orang Hindustan di Tanah India, melainkan orang-orang Jawa!!

Keterlibatan kerajaan-kerajaan lainnya dalam perang Berathayudha adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berada dibelahan dunia lainnya. Ini menegaskan bagaimana Kerajaan Nusantara adalah sebuah wilayah dengan kekuatan dan kekuasaan politik yang sangat besar karena bisa menyeret kerajaan lainnya untuk berperang.

Kehebatan nenek moyang kita juga ditunjukkan dengan keberadaan Candi Borobudur. Candi ini, kata teman ini, sudah ada jauh sebelum tahun masehi dikenal. Jadi anggapan ilmuwan yang menyatakan bahwa candi ini dibangun pada abad ke-8 masehi tidaklah benar.

Patung di dalam candi borobudur juga bukan Patung Budha melainkan patung Raja Saylendra yang kebetulan mencapai tahap perjalanan Bathin mirip dengan yang dialami Sidhartha Gautama. Diceritakan bahwa Raja Saylendra membuat Candi Borobudur setelah mencapai perjalanan sampai nirwana. Salah satu yang diingat Saylendra adalah suara musik di alam nirwana yang begitu melekat dipikirannya. Lalu Saylendra berusaha menemukan/mencipatakan alat yang bisa mengeluarkan suara seperti yang diingatnya. Dari pencarian ini dicipatakanlah gambelan yang dijawa dikenal dengan gambelan laras selendro.

Jadi nenek moyang bangsa Indonesia adalah mereka-mereka yang menjadi pencetus peradaban dunia. Nusantara adalah pusat dari peradaban dan asal muasal dari semua peradaban di planet bumi ini. Benar atau tidak, percaya atau tidak, kembali kepada diri kita. Anggaplah semua cerita kawan ini benar, maka sangat pantas bagi kita untuk bangga kemudian menguatkan rasa percaya diri kita bahwa kita adalah manusia-manusia unggul. Kalau kemudian kita menjadi terpuruk seperti saat ini, maka itu semua karena ulah kita yang melupakan asal-usul kita. Siapa sesungguhnya kita dan darimana kita berasal.

Wallahu A'lam bishowab