Sejarah Desa Galagamba

Pada sekitar tahun 1400-an disebuah kaki Gunung Kromong. Ada sebuah hutan belantara yang banyak dihuni oleh para dedemit dan berbagai binatang yang buas seperti macan, celeng dan sebagainya.

Disuatu tempat yang disebut Rajagaluh ada Kasatria bernama Kiwinata yang mempunyai badan yang tegap dan penuh dengan sopan santun dan juga sangat sakti. Ki Winata kemudian membangun sebuah gubug dan dijadikannya sebagai tempat tinggal, tidak hanya itu beliau juga membuat balai dari kayu jati yang sangat besar sekali untuk tempat menjamu tamu. Semakin hari tempat tersebut menjadi sangat terkenal, kemudian semakin ramai. Ramainya tempat tersebut akhirnya mengundang perhatian dan Raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Akhirnya Raja Prabu Siliwangi tersebut datan dengan rombongan untuk mengunjungi tempat tersebut. Ketika tiba ditempat tersebut maka disambutlah sang raja.

Prabu Siliwangi sangat terkagum dengan salah satu balai yang besar tersebut. Prabu Siliwangi kemudian bertanya kepada Ki Winata apa nama pedukuhan tersebut ? Maka dijawab oleh Ki Winata kalau pedukuhan tersebut belum diberi nama. Maka kemudian Sang Prabu memberi nama pedukuhan tersebut dengan nama “ GALAGAMBA ”. Gala artinya Balai sedangkan Amba adalah luas jadi “ GALAGAMBA ” Artinya adalah Balai yang luas atau besar.

Selepas kepergian sang prabu, Ki Winata meninggal dunia, yang kemudian dikuburkan disuatu tempat yang bernama Raga Sawangan. Raga Sawangan dulunya ketika masyarakat menebang jati maka keesokan harinya jati itu tumbuh kembali. Maka Ki Winata merasa bertanggung jawab untuk membersihkan masalah tersebut yang kemudian menghadap Sunan Jati Purba.

Maka sang Sunan dan Ki Winata merencanakan untuk menebang pohon tersebut dengan memulai berdoa. Maka dalam pandangan mata bathin beliau maka dilihatnya ada raga yang bersandar dipohon tersebut. Maka setelah raga tersebut diusir maka pohon tersebut dapat ditebang sehingga tempat tersebut dikenal dengan “ RAGA SAWANGAN ”.

Tidak hanya di Blok Ragasawangan, di Blok Dukumire ada yang disebut dengan adanya Pustaka Lawang Gada yang banyak orang dapat memohon barokahnya. Dan salah satu yang menjadi terkenal adalah di Blok Nagrog dengan adanya Harimau Siliwangi Putih yang saat ini masih dipercaya dan masih terus berkeliling sepanjang makam kompleks Masjid Al-Ikhlas yang pertama kali dibangun oleh Almukaromah Kiai Marjuki sekitar tahun 1800-an. Sebagai salah satu sesepuh para Kiai yang ada di Babakan dan Kempek. Yang kemudian dipugar dengan bentuk modern oleh Kiai Tarmidi pada tahun 1930-an yang kala itu pada masa Jepang menjabat sebagai Kepala Kantor Agama Wilayah Cirebon yang membawahi Kuningan, Majalengka dan Indramayu.

Sejarah Desa Gintung Tengah

Ketika sebagian besar daerah Cirebon masih tertutup hutan belantara, dan ajaran Hindu masih dianut oleh sebagian penduduk Cirebon. Maka pada saat itu pulalah Mbah Kuwu Cirebon dengan dibantu teman dan kerabatnya bersemangat menyebarkan ajaran Islam. Sambil menyebarkan agama tak lupa pula membabat hutan dan membuka pedukuhan-pedukuhan baru.

Tersebutlah nama Kyai Ageng Buyut Membah, seseorang dari Negeri Iraq, yang datang ke Indonesia karena diutus oleh ayahandanya untuk menyebarkan Agama Islam dan memperbaiki akhlaq serta aqidah Bangsa Indonesia khususnya didaerah Cirebon.

Kyai Ageng Buyut Membah, diutus oleh ayahandanya tidak langsung datang ke Tataran Cirebon, melainkan ke Pesantren Sunan Muria, dan ia berguru disana. Dipesantren itu Kyai Ageng Buyut Membah berkenalan dan bersahabat dengan keturunan Sunan Muria yang bernama Raden Jaka Pendil. Dipesantren itulah Kyai Ageng Buyut Membah mendapat nama baru yaitu Raden Suminta.

Teringat akan pesan ayahandanya yaitu untuk menyebarkan Agama Islam dan untuk memperbaiki akhlaq serta moral penduduk didaerah Cirebon yang porak poranda karena pertentangan Agama Hindu Budha dengan Agama Islam yang diajarkan oleh Mbah Kuwu Cirebon dan kawan-kawan. Kyai Ageng Buyut Membah minta izin kepada gurunya untuk pergi kedaerah Cirebon.

Bersama Raden Jaka Pendil, Kyai Ageng Buyut Membah berangkat kedaerah Cirebon. Sebelum mereka berdua berangkat, Sunan Muria memberi pesan agar keduanya dalam perjalanan, maupun sesampainya ditujuan agar tetap ngaji Sufi (Pewalian) yang ada enam macam adalah sebagai berikut : Diam, Jangan sombong, Jangan ugal-ugalan, Melindungi orang yang lemah, Memperbanyak membaca Al-Qur’an, Jangan berbicara sembarangan, dan harus menirukan tingkah laku Sunan Muria yang tidak pernah batal wudlu.

Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Raden Jaga Bodoh (Raden Suralaya) yang juga sedang diutus oleh ayahandanya yaitu Sunan Gunung Jati untuk membabat Alas Roban. Namun tempat pertemuan tersebut sekarang wallahu a’lam atau hilang ditelan zaman. Kemudian mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Pada tahun 1545 M mereka mulai membabat hutan disebelah barat Cirebon. Pada saat itu Raden Jaka Pendil sedang mengamalkan doa Kanzil ‘Arasy, dari do’a tersebut menjelma sebuah pusaka kayu yang berwujud keris, kayu tersebut bernama Kayu Karas (yang kemudian terkenal dengan sebutan ki Arasy ). Didalam pusaka Kayu Karas tadi terdapat qodam berupa jin muslimah dan berwujud seorang wanita. Wanita ini diberi nama Larasati ( kemudian terkanal dengan sebutan Nyi Arasy ).

Sementara itu Kyai Ageng Buyut Membah (Raden Suminta) mempunyai pusaka Weling Barong, wujudnya tongkat berkepala naga, yang qodamnya berisi macan putih yang diberi nama si Bujang, Ular Buntung, juga memiliki agem-agem merah delima, zamrud unjaman dan burung banjar petung yang qodamnya berada di telaga midang di Desa Bringin dan juga mempunyai peliharaan berupa macan Blewuk. Kyai Ageng Buyut Membah, Raden Jaka Pendil dan Raden Jaga bodoh bersama-sama membabat hutan, kayu-kayu yang bergelimpangan dan semak-semak kering dibakar hingga kobaran api menjalar kemana-mana.

Sehabis hutan di tebang mereka membenahi tempat baru tersebut, termasuk membuat sumur Pendawa. Nama pendawa hanyalah sebagai kiasan belaka tidak ada hubungan dengan pendawa lima. Kemudian orang-orang berdatangan ikut menetap didaerah baru tersebut, termasuk Ki Buyut Ipah dan Ki Buyut Rinten yang masih bersaudara dari Kyai Ageng Buyut Membah dan juga datang ikut menetap tinggal didaerah yang baru itu.

Pedukuhan terbentuk Kyai Ageng Buyut Membahlah yang jadi pemimpin, baik pemimpin agama maupun pemerintahan. Malah semakin berkembang ajaran islam setelah kedatangan Kyai Sembung (Kyai Somadullah) datang membantu.

Kyai Sembung adalah seorang tamu Kyai Ageng Buyut Membah yang datang dari desa Luga Lugina dari negara Syam (Syiria) untuk menyebarkan agama islam. Karena pada saat itu keadaan akhlak dan moral masih terlantar.

Disebuah tempat ada sebuah pohon rindang yang bunganya berbau harum, penduduk pedukuhan baru tersebut banyak dan sering menggunakan bunga harum tersebut untuk acara kendurian misalnya : acara pernikahan, khitanan, nujuh bulan dan acara-acara lainnya .

Awal terbentuknya pedukuhan baru tersebut, sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bentuk, dan pohon yang digunakan bunganya oleh masyarakat tadi diberi nama POHON GINTUNG. Istilah Gintung dapat diartikan sebagai berikut: Gi=girang(suka,riang-gembira), In=Ingsun(saya), Tung=tungkul (betah kerasan), jadi Gintung artinya Girang Ingsun Tungkul (saya senang dan betah di daerah baru ) dan dari nama pohon inilah diabadikan menjadi nama DESA GINTUNG, yaitu pada tahun 1554 M.

Selanjutnya dibentuklah sebuah tempat pemerintahan baru yang berada ditengah-tengah dari pedukuhan tersebut, diberi nama dusun atau DESA GINTUNG TENGAH. Dengan Kyai Ageng Buyut Membah sebagai pemimpin/kuwu, dan sampai sekarang ada daerah yang masih menggunakan istilah membah adalah membah lor dan membah kidul yaitu daerah desa yang dijadikan tanah desa (bengkok dan titisarah).

Setelah pedukuhan baru terbentuk, pola-pola kehidupan ditata dan penyebaran agama islampun berkembang. Kyai Sembung, Raden Jaka Pendil dan Raden Jaga Bodoh tidak menetap di desa Gintung Tengah melainkan kembali kedaerah asalnya Negara Syiria. Salah satu kenangan untuk diingat anak cucu Gintung Tengah adalah Kyai Sembung dapat menahan petir agar warga Gintung Tengah terhindar dari serangan petir.

Dalam perkembangannya, Pohon Gintung tersebut bunganya semakin banyak yang membutuhkan oleh karena itu Kyai Ageng Buyut Membah menanam pohon gintung disebelah kidul (Cikal bakal desa Gintung Kidul ), dan disebelah lor (Cikal bakal desa Gintung Lor). Agar penduduk merasa lebih dekat untuk mengambil bunga pohon gintung tersebut.

Semakin lama pedukuhan Gintung Tengah penduduknya makin bertambah dan wilayahnya dibagi menjadi beberapa blok yaitu : Blok Bentuk yang meliputi pendawa, Blok Pesantren, Blok Desa, Blok Sumur bata

Adapun tanah-tanah yang berada diluar Desa Gintung tengah seperti tapak bima yang berada di Desa Gintung Kidul, blok sepat (putat) yang berada di Dukumire Desa Galagamba, tanah Silado di Desa Bakung, adalah tanah-tanah yang diperoleh dari babat hutan disaat istirahat sambil memandang hasil babat hutan-hutan tadi.

Sampai sekarang masih ada tempat-tempat yang dianggap sakral / kramat oleh desa Gintung Tengah adalah sumur pendawa dan sumur bata. Keduanya adalah tempat yang katiban gaman / pusaka keris Kyai Ageng Buyut Membah kedua tempat tersebut dapat membuat siapa saja yang berada dekat dengan sumur tersebut akan merasa tenang, betah dan nyaman.

Apabila keturunanku (warga Gintung Tengah) memiliki masalah lahir dan batin Kyai Ageng Buyut Membah menganjurkan untuk mengamalkan do’a Kanjil Arays kemudian mandi diantara dua sumur tersebut dan apabila ingin mempunyai kelebihan lain(ekonomi dan lainnya) dianjurkan untuk keluar/merantau dari Desa Gintung Tengah ini,karena tidak semua kebutuhan hidup tidak semua ada disini.

Sedangkan sumur Kroya dan sumur buk hanya merupakan kias atau lambang yang berpungsi untuk peristirahatan para petani sambil berdiskusi tentang pertanian dan lainnya.

Kyai Ageng Buyut Membah mempunyai seorang istri dari keturunan Kerajaan Galuh Pakuan dan dikaruniai beberapa orang anak (yang keberadaanya tidak boleh diceritakan). Karena usianya Kyai Ageng Buyut Membah tidak sempat mempunyai seorang murid. Pada hari rabu tanggal 12 Rajab 1154 H / 1725 M Beliau wafat dan dimakamkan di Blok Pendawa,sehingga pemerintahan desa diturunkan kepada orang lain.

Sejalan dengan perkembangan pedukuhan Gintung Tengah dan sepeninggalanya para penerus dan pengganti Kyai Ageng Buyut Membah, Desa Gintung Tengah pernah dipimpin oleh Kuwu Giwang, karena kuwu Giwang tidak bisa mendengar/budeg, maka terkenal dengan sebutan Kuwu budeg, sehingga tanah-tanah yang berada diluar Desa Gintung Tengah diminta oleh masing-masing pemerintah desa setempat.

Sejarah Desa Tegal Gubug

Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing,majalengka) dan Kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi,majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk Islam

Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di Negeri Talaga dan Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan kesaktian tingggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan kesultanan Cirebon, kerana masih ada pepatih yang masih belum memeluk Agama Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syaikh Suropati / Ki Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Baghdad). Yang nama aslinya yaitu Syaikh Muhyiddin Waliyullah / Syaikh Abdurrahman, yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sabagai santi (murid) Sunan Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok penduduk Jawa Barat, dalam perjalanan penyebaran Ajaran Islam banyak mendapat tanggapan baik dari rakyat, namun tak jarang pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan tersebut. Namun berkat kesaktian ilmuny yang mandraguna mereka dapat ditaklukan dan mereka mau memeluk Agama Islam.

Lalu atas jasa dan ilmu kesaktianya, Syaikh Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorng pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-quran yang berjumlah banyak diperuntukan sebagai pedoman di Negeri Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putri cantik, barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan dijodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut Ki Suro hanya ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro dapat mengalahkan Ki Wadaksi dan kemudian memeluk Agama Islam bersama-sama muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelunnya mereka saling mencintai.

Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamunya dengan jamuan istimewa sambil menyerakan kitab suci Al-quran. Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona melihat putri Ki Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya keninginan untuk menjadikannya pendamping hidupnya. Namun sebelum Ki Suro mengatakan keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan menjadi Istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke keraton Cirebon.

Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro meminta beristiharat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka melanjutkan perlajalanannya menuju keraton Cirebon, namun sebelum Ki Suro menlajutkan perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatngan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding yang seru pada akhirnya Nyi Mas Ratu Anten dapat dikalahkan.

Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan  menyampaikan amanat Ki Pancawala kepada Sunun Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawal yang menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Rtau Antra Wulan.

Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka membangun pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan ditengah-tengah hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.
Pedukuhan itu atas izin dan restu dari Sunan Gunung Jati, dan diberi nama “Tegal Gubug” yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :

               ·  Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami
         ·  Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu
         ·  Tegal gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bambu,
             yang sekitarnya  terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.

Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. [ Sekitar akhir abad ke 15 ] pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh Rekan-rekannya.

Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan / perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyaratnya, yang ketika itu masih mempercayai (menganut, menyembah) Agama Nenek moyangnya yaitu : Animisme (aliran/kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme (aliran/kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.

Sejarah Desa Susukan

Asal mula Desa Susukan itu adalah di blok Reca yang sekarang tanahnya sudah menjadi pesawahan. Karena mengikuti jejak Ki Gersik yang pada waktu itu menjadi guru agama Islam maka berpindah tempat disuatu blok yaitu blok Wana Iman yang sekarang disebut blok Pamijen.

Adapun Ki Gresik nama aslinya ialah Kiyai Hasan Madari dan dapat julukan dari Cirebon yaitu PANGERAN SELINGSINGAN (asal dari Gresik Surabaya) dan jejaknya dikuburkan dipekuburan Wana Iman.
Adapun kata Susukan terjadi pada waktu Ki Gresik membuat perkampungan Pamijen dari hutan Iman mengatur/menggali bikin saluran air gempol yang mengalir dari blok Girang.

Adapun yang pertama kali membuka tanah adalah seorang perempuan yang bernama Ny. Tosa dengan cara membakar hutan dimulai dari blok Pamijen dengan pertolongan seorang Punakawan yang bernama Ki Angger Esa sehingga menjalarnya api itu meluas sampai ke selatan yaitu di desa Nunuk yang merupakan bagian daerah Majalengka (sekarang desa Garawangi).

Menurut kisah orang tua dulu, pekuburan Nyi Tosa itu ada di daerah Garawangi adapun yang di daerah Susukan hanya selendangnya saja.

Pada waktu itu terjadi peperangan dengan Ratu Galuh, pahlawanya bernama Pati Sumijang sehingga ratu Galuh terdesak kalah, putri dan anak ratunya dapat ditahan dan di bawa ke Cirebon.

Tahanan di angkut ke Cirebon oleh Ki Pati Suro dan tempat sekarang itu bernama desa Tegalgubug, di buat kemah untuk istirahat sehingga diadakan hubungan perkawinan tidak resmi antara putri Galuh dengan Ki Pati Suro karena maklum antara laki-laki dan perempuan. Ahirnya melapor ke Cirebon bahwa tahanan itu tidak pantas untuk di jadikan selir, melainkan supaya dianggap sebagai tawanan yang tidak berfaedah.

Maka oleh karena itu Ki Pati Sumijang mendengar peristiwa tersebut kemudia melapor ke Cirebon bahwa Ki Pati Suro berbohong dan ketika itu juga mendapat julukan Ki Pati Rusuh.

Kemudian diadakan perang tanding antara Ki Pati Sumijang dengan Ki Pati Suro bertempat di saluran air perbatasan antara desa Susukan dengan desa Tegalgubug, sehingga terjadi perkelahian yang maha dasyat.

Pada waktu itu Ki Pati Sumijang dapat menguasai peperangan tersebut sehingga Ki Pati Suro dapat terpukul mundur dan lari terpontang panting sampai kakinya terinjak binatang kiong sehingga tumitnya bengkak.
Nah….. jadu untuk tanda atau ciri-ciri yang husus, bahwa orang Tegalgubug yang asli itu pasti tumitnya besar.

Adapun kramat Ki Gresik setelah wafat, terjadi dimana waktu perang berandal di desa Kedongdong yang diketuai oleh Ki Bagus serit melawan kompeni tentara Belanda, ketika ada orang Susukan yang bernama Ki Remang yang mengetahui keadaan di Kedongdong yang terjebak bertemu dengan Tuan Jonas lantas terkena pukulan dibagian kepalanya. Oleh karena itu Ki Remang lari pulang dan masuk ke pemakaman Ki Gresik sambil menahan rasa sakitnya, tetapi apa hendak dikata oleh karena sakitnya itu agak berat maka Ki Remang tersebut tak tahan lagi menahanya dan ahirnya ia meninggal juga di pemakaman Ki Gresik.

Tuan Jonas tidak sanggup meneruskan pencegatan di sebabkan karena takut melihat ular besar di pemakaman Ki Gresik, sehingga Tuan Jonas kembali lagi ke tempat asalnya.