Sejarah Desa Bulak


Bulak berada di wilayah Kecamatan Arjawinangun, setelah hasil pemekaran dari Kecamatan Klangenan. Jumlah penduduk sebanyak 2.171 orang, laki-laki 1.014 orang dan perempuan 1.157 orang. Mata pencaharian penduduknya petani, pedagang, pegawai dan wiraswasta lainnya.

Pada jaman dahulu di wilayah Cirebon, banyak hutan-hutan yang begitu angker, masih sedikit penghuninya. Mbah Kuwu merancang agar hutan-hutan itu menjadi tanah yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan memperluas pedukuhan demi pengembangan agama Islam.

Ada hutan yang jauh di sebelah barat Gunung Jati, sekarang daerah itu adalah Desa Slangit, yang artinya jauh sekali. Mbah Kuwu mendatangi dan membuka hutan itu, dengan keikhlasannya sedikit demi sedikit hutan yang lebat menjadi tanah yang bagus dan berguna untuk lahan pertanian. Di daerah itulah Mbah Kuwu bercocok tanam.

Karena daerah itu tidak ada air, Mbah Kuwu mencarinya untuk kebutuhan sehari-hari. Secara tak terduga diperjalanan bertemu dengan Ki Kasmadi. Mbah Kuwu melihat keadaan sekelilingnya hutan belantara, hutan yang begitu angker dengan sekejap saja “Bul” = pragat / selesai dan “lak” = lalakan / jauh. Jadilah suatu pedukuhan yang dinamakan Bulak.

Ki Kasmadi ditugaskan oleh Mbah Kuwu sebagai sesepuh pedukuhan Bulak dengan sebutan Ki Gede Kasmadi. Disamping itu diberi tanggung jawab untuk mencari air untuk keperluan masyarakat.
Ki Gede Kasmadi didampingi Nyi Resmi.

Kehidupan Nyi Resmi menyendiri dan senang beternak ayam. Sumur yang didapat kepunyaan Nyi Resmi, yang airnya mengalir terus walaupun kemarau panjang, yang saluran sumber airnya dari sumur Trusmi.



Nyi Resmi terkenal ayamnya, ayam kesayangannya ayam jago, warnanya abang pinatas (bulu merah ekornya ada yang putih), bunyi ayam kongkorongok suaranya nyaring dan merdu. Kalau jago Nyi Resmi kongkorongok, masyarakat pedukuhan itu merasa terharu dan bisa untuk tetenger (waktu), sangkarnya dibuat dari emas. Dan sampai sekarang ayam jago Nyi Resmi, sewaktu-waktu terdengar kongkorongok walaupun tidak rupa tapi ada suara.

Dipercayai oleh masyarakat kalau senang mengadu ayam jago, dimandikan pakai air itu, dipastikan akan menang. Sumurnyapun sampai sekarang masih ada (terletak sebelah barat balai Desa Bulak).

Airnyapun m,asih ada, sekarang dipinggir sumur tumbuh pohon beringin. Dinding sumur bagian bawah dari kayu jati dan diatasnya batu bata. Ki Gede Kasmadi begitu taatnya kepada Mbah Kuwu, yang ditugaskan sehari-hari mengambil air dibawa ke Slangit. Mbah Kuwu memberi hadiah kepada Ki Gede Kasmadi pusaka tongkat wesi kuning yang berkepala naga bermuka empat, panjangnya 1 meter. Pusaka tadi sekarang masih ada, yang setiap bulan Januari saat “pari mapaki/Cirebon” (padi mengandung) dimandikan, dan airnya oleh masyarakat banyak diambil untuk keselamatan dari bahaya penyakit agar padinya mendapat hasil yang banyak. Ki Gede Kasmadi oleh masyarakat disebutnya Ki Gede Bulak.

Mbah Kuwu dengan semangat yang tak kenal lelah bertani menanam padi untuk kesejahteraan penduduk dan tidak lepas pengembangan agama Islam. Tempat tinggalnya di Slangit, sampai sekarang petilasannya masih banyak dikunjungi berbagai penjuru masyarakat.

Bulak semula merupakan cantilan Desa Slangit, Kuwu Slangit tempat kediamannya di Bulak, untuk cantilan dikuasai oleh Kliwon. Setelah Kuwu pertama meninggal, pihak masyarakat Bulak minta pembagian tanah. Setelah kesepakatan bersama atas pembagian hak tanah dan lainnya, Bulak diserahkan dan dijadikan Desa Bulak.

Nama-nama Kepala Desa / Kuwu yang diketahui:
1. Misnen
2. Ramol
3. Madgaim
4. Yudia
5. Mustadjab
6. Brahim
7. Surga : 1994 – 1986
8. Tunira (Pj) : 1993 – 1994
9. Suja (Pj) : 1994 – 1996
10. Sukana (Pj) : 1996 – 1999
11. Sujono : 1999 – 2005
12. Ade Jayani 2005 - sekarang


Sejarah Desa Sende

Pohon Beringin depan balai Desa Sende

Di kaki gunung Ciremai ada sebuah pedukuhan namanya pedukuhan Gunung Pala, disebelah selatan Lengkong yang termasuk wilayah Rajagaluh. Disitu Nyi Mawas dan seorang anaknya berada. Tentunya Nyi Mawas sayang kepada anaknya yang satu-satunya itu Kemanapun Nyi Mawas pergi selalu anaknya dibawa serta seolah-olah tidak mau lepas dengan anaknya.

Ketika anaknya menginjak masa remaja dalam hatinya mampunyai keinginan untuk mandiri dan mencari pengalaman lain diluar kehidupan sehari-harinya di Pedukuhan Gunung Pala. Diberanikannya berbicara memohon ijin kepada ibunya, tentang keingnannya itu. Akan tetapi ibunya melarang anaknya peregi meninggalkan pedukuhannya dan meninggalkan ibunya pula. Karena keinginan yang sangat kuat, maka pada suatu, tanpa pamit kepada ibunya pergilah anaknya itu meninggalkan ibunya.

Sepeninggalan anaknya, Nyi Mawas merasa kehilangan, seolah kehidupannya kosong tiada pegangan. Dengan hati gunda dicarinya anaknya itu, langkah kakinya membawahnya pergi meninggalkan Pedukuhan Gunung Pala menuju arah utara menurut kata hatinya.

Lama sudah Nyi Mawas berjalan, lupa makan juga lupa tidur, yang ada dibenaknya hanyalah bayangan anaknya, ingin rasanya segera berjumpa dengan anaknya. Dalam perjalanan dengan tenaga yang loyo dan berjalan dengan kaki tertatih-tatih dikuatkannya untuk berjalan. Karena sangat lelahnya Nyi Mawas menghentikan perjalanannya, istirahat dan “nyender” di bawah pohon serut sambil melakukan tapa. 

Orang-orang sekitarnya pada geger karena ada seorang wanita “nyender” berhari-hari tidak mau bangun. Dari mulut ke mulut penduduk setempat mengatakan “ ada orang nyender……, ada orang nyender……….”, maka daerah itu disebutlah Pedukuhan Sende.

Dari kata dasar nyender artinya bersandar. Kemudian berkembang menjadi Desa Sende, sekarang termasuk wilayah kecamatan Arjawinangun, kabupaten Cirebon.  

Wong dagang bongko tahun 1955

Tanpa ada yang tahu, Nyi Mawas meninggalkan tempat istirahatnya dan meneruskan perjalanan ke arah utara, yaitu ke Sukudana Kebupaten Indramayu. Di Sukanda Nyi Mawas menemui ketenangan dalam hidupnya dan bersuamikan peduduk setempat. Mempunyai keturunan seorang putri bernama Nyi Saritem / Nyi Item. Sampai akhir hayatnya Nyi Mawas dikuburkan di Sukanada.

Nama-nama Kepala Desa Sende / Kuwu yang pernah menjabat :

1. Ki Martani     : 1950 – 1962
2. Kadug            : 1962 – 1972
3. Basari            : 1972 – 1980
4. Aspilin            : 1980 – 1990
5. Madkari        : 1990 – 1999
6. Wira              : 1999 –2007
7. Sudarso         : 2007 – Sampai sekarang